BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pesantren atau pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Oleh karena
itu, istilah “pesantren” terutama salafiyah, seakan bukan sesuatu yang asing di
telinga masyarakat kita. Menurut Nurcholis Madjid, secara histori pesantren
tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna
keaslian (indigenous) Indonesia[1].
Karena, sebelum datangnya Islam ke Indonesia pun, lembaga serupa pesantren ini
sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan
mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi
kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi suatu
lembaga yang kita kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Sesuai dengan Keputusan bersama
Dirjen Binbaga Islam Depag dan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor : E/83/2000 dan
Nomor : 166/C/Kep/DS/2000 tentang Tentang Pedoman Pondok Pesantren Salafiyah,
Pondok Tradisional yang dalam bahasa sering di sebut sebagai Pesantren
Salafiyah adalah salah satu tipe pondok pesantren yang menyelenggarakan
pengajaran pengajian Al Qur’an dan kitab kuning secara berjenjang atau madrasah
Diniyah yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya menggunakan kurikulum khusus
pondok pesantren.[2]
Akar-akar historis keberadaan
pesantren di Indonesia dapat di lacak jauh ke belakang, yaitu pada masa-masa
awal datangnya Islam di bumi Nusantara ini dan tidak diragukan lagi pesantren
intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi
itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi
sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu,
dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi
kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam.
Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal
pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai
sebuah lembaga pendidikan[3].
Pesantren sebagai pranata pendidikan
ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar umat
menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan
fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar
pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama
ratusan tahun.
Pada era yang modern ini, terdapat
beberapa kubu kontradiktif yang menanggapi kemampuan pesantren dalam
mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah
gelombang modernisasi dan globalisasi saat ini. Sebagian diantaranya
bersikap pesimistis dan sebagian lainnya bersifat optimistis.[4]
Namun, terlepas dari kontra persepsi tersebut, realitas menunjukkan bahwa pesantren
salafiyah ternyata sampai hari ini tetap dapat bertahan (survive) dengan
identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi
pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan
pondok pesantren yang bermunculan di kota-kota besar. Di samping banyak juga
pendidikan umum yang mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan
pesantren seperti yang di lakukan oleh SMU Madania di Parung, SMU Insan
Cendekia-nya BPPT (sekarang MA Unggulan-nya Departemen Agama RI) di Serpong. Assalam
di Surakarta, Ketiganya mengadopsi sistem asrama dengan menyebutnya “boarding
school”. Sistem”boarding” tentu saja merupakan salah satu
karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren.
Kemampuan pesantren dalam
mempertahankan dan pengembangkan program pendidikannya hingga saat ini
menandakan masih tersisa masalah empiric maupun teoritik. Permasalahan empiric
terkait dengan realitas pesantren salafiyah yang tidak terlepas dari
kepercayaan dan dukungan masyarakat ( stake holders) khususnya wali santri.
Kepercayaan dan dukungan tersebut tercermin dalam tindakan wali santri
memasukkan anak ke pesantren. Adapun secara teoritis, butuh pertimbangan yang
dalam meliputi keragaman motif wali santri khususnya interpretasi wali santri
atas pesantren salafiyah dalam keputusannya memasukkan anak ke pesantren. [5]
Sulaiman (22: 2010) dalam bukunya Masa depan pesantren, Eksistensi
pesantren di tengah gelombang modernisasi yang diketahui
sebagai laporan disertainya pada Program Pascasarjana Universitas Brawijaya ini,
menganggap bahwa keurgenan meneliti
motif dan tindakan wali santri sebagai stake
holder dalam memasukkan anak ke lembaga pesantren dengan harapan
teori-teori tersebut dapat dijadikan alat kupas dan mengkritisi
persepsi-persepsi yang terlalu optimistis maupun pesimistis terhadap eksistensi
pesantren salafiyah di tengah arus modernisasi.
Dan
seperti harapan penulis pada umumnya, Sulaiman berharap melalui hasil
penelitiannya, mampu memberikan kontribusi yang diharapkan oleh komunitas
pesantren yaitu pemantapan nilai-nilai yang mendasari kokohnya kepercayaan,
pengakuan dan kepedulian terhadap pesantren. Harapan lain adalah dapat
digunakannya sebagai dasar dan pijakan pertimbangan penyusunan kebijakan yang
terkait dengan posisi dan peran strategis pesantren dengan wali santri sebagai agen dalam pembangunan masyarakat
(bottom-up innovation). Hal ini sangat
bertolak secara empiris yang inovasi dan kebijakan pesantren khususnya
salafiyah selalu lahir dari pemerintah (top-down innovation) yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
eksistensi pesantren salafiyah di tengah gelombang modernisasi?
2. Bagaimana
makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak ke pesantren salafiyah?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengkaji eksistensi pesantren salafiyah di tengah gelombang modernisasi
2. Untuk
menganalisa makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak ke pesantren
salafiyah
D.
Definisi
Operasional Variabel
1. Pesantren
Kajian “pesantren” dalam buku ini dalam Sulaiman
(5:2010) adalah pesantren salafiyah (tradisional) yaitu pesantren yang masih
terikat kuat oleh tradisi-tradisi lama yang mempunyai karakteristik:
a. System
pengelolaan pendidikan cenderung berada ditangan kyai sebagai pemimpin sentral
b. Hanya
mengajarkan pengetahuan agama
c. Materi
pendidikan bersumber dari kitab-kitab kuning
d. Menggunakan
system pendidikan tradisional: weton/bandongan
dan sorogan
e. Hubungan
antara kyai, ustad dan santri bersifat hirarkiskehidupan santri cenderung
bersifat komunal dan egaliter
2.
Modernisasi
Dalam
buku ini, yang dimaksud dengan “Modernisasi” adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta dinamika perkembangan masyarakat yang sangat
pesat sehingga memunculkan tuntutan-tuntutan baru dalamberbagai bidang,
khususnya bidang pendidikan (Sulaiman, 3:2010).
3.
Makna
tindakan wali santri
Dalam buku ini (Sulaiman, x:2010), “makna tindakan
wali santri” adalah makna tindakan wali santri dalam memasukkan anak di
pesantren salafiyah. Adapun variasi tipe tindakan dilihat dari:
a. Kadar
rasionalitas mereka
b. Bentuk
tindakan dalam penentuan pilihan pendidikan bagi anak-anak mereka
c. Nilai-nilai
yang menjadi orientasi tindakan mereka
E.
Study
Pustaka
Sejak paruh abad ke 20 hingga hari ini, sosok dan
dunia pesantren telah menarik perhatian para akademisi untuk dijadikan bahan
studi dan fokus telaah ilmiahnya dan telah terbit sejumlah karya tulis-karya
tulis tentang pesantren di kaji dari berbagai sudutnya. Berkaitan dengan fokus
kajian penelitian ini yakni tentang pesantren dan eksistensinya dalam
modernisasi dan motivasi wali santri memasukkan anaknya ke pesantren, berikut
ini dipaparkan beberapa studi lain sebgai acuan antara lain :
Mastuhu yang yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Dalam kajian ini Mastuhu
berusaha meningkatkan gerak perjuangan pesantren didalam memantapkan identitas dan
kehadirannya ditengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun ini.
Menurutnya, pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam harus dapat
menjadi salah satu pusat studi pembaharuan pemikiran Islam. Untuk itu, ia
berusaha menemukan butir-butir positif dari sistem pendidikan pesantren yang
kiranya berlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional, dan butir-butir
negatif yang kiranya tidak perlu lagi dikembangkan karena tidak sesuai lagi
dengan tantangan zamannya, serta butir-butir mana dari sistem pendidikan
pesantren yang sekiranya perlu di perbaiki lebih dahulu sebelun dikembangkan
dalam sistem pendidikan nasional dan system pendidikan pesantren dalam
menyongsong masa depannya.[6]
Dengan meneliti 6 pesantren, ia menggunakan
pendidikan sosiologis-antropologis dan fenomenologis dengan harapan dapat
menembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren sehingga dapat
mengembangkannya dalam sistem pendidikan nasional.
Study tentang makna tindakan memasukkan anak ke
pesantren salafiyah dalam buku ini melengkapi dan memperjelas tesis Weber
(dalam Ritzer, 997, Cohen dalam Burrell dan Morgan, 1979) bahwa actor memiliki
alas an dan tujuan dalam melakukan setiap tindakan, dan untuk mencapai tujuan
itu mereka menggunakan cara atau alat tertentu.[7]
Hasil penelitian ini juga melengkapi dan memperjelas tesis hasil tesis Geertz
dan Mulder (1983; Suseno, 1999) tentang pengaruh nilai budaya, khususnya budaya
Jawa, tentang penghormatan dan penampilan social yang harmonis.[8]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pesantren
Sejak awal masuknya Islam ke
Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin.
Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan
pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena
dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan
bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke
Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun,
pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem
pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah
pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang
membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari
kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah
Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu,
dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama
yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan
yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh
memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan
yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya
atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier
1985:41, Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut
membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap
pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga
menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan
kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam
administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah
umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren
sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah
anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun
dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum
yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil
mati sebab santrinya kurang cukup banyak
(Dhofier 1985:41).
Jika kita melihat
peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama
bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk
menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam,
dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas.
Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan
pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang
dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan
baik” di Indonesia.
Menurut survai yang
diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer
Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan
murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:
TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura
pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah
|
Jumlah Pesantren dan Madrasah
|
Jumlah Santri
|
Jakarta
|
167
|
14 513
|
Jawa Barat
|
1 046
|
69 954
|
Jawa Tengah
|
351
|
21 957
|
Tawa Timur
|
307
|
32 931
|
Jumlah:
|
1 871
|
139 415
|
(Dhofier, 1985:40)
TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978.
(Laporan Departement Agama RI)
Propinsi Daerah
|
Jumlah Pesantren
|
Jumlah Santri
|
Jakarta
|
27
|
15
767
|
Jawa
Barat
|
2
237
|
305
747
|
Jawa
Tengah
|
430
|
65
070
|
Tawa
Timur
|
1
051
|
290
790
|
Jumlah:
|
3
745
|
675
364
|
(Hasbullah, 1999:140)
Dalam Tabel 2, dapat kita
melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah
bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan
dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren
di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara,
dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan
pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia
merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk
madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN),
namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem
pesantren (Dhofier 1985:20). Dari data-data tersebut harus kita bertanya, bagaimana
eksistensi pesantren dalam arus Modernisasi dan Globalisasi saat ini?
B. Eksistensi Pesantren dalam Modernisasi
Modernisasi di manapun telah
mengubah berbagai tatanan dan lembaga tradisional (pesantren). Salah satu di
antaranya adalah semakin pudarnya fungsi lembaga Islam. Pudarnya fungsi lembaga
keagamaan tradisional dalam kehidupan modern merupakan penjelas perubahan
posisi sosial, ekonomi dan politik elite Muslim yang dibangun di atas kekuasaan
dan legitimasi keagamaannya. “Pemikiran Islam kontemporer merupakan upaya elite
muslim memperoleh legitimasi agama atas posisi sosial, ekonomi dan politiknya
dalam lembaga sekuler.” [9]
Munculnya kesadaran di
kalangan pesantren dalam mengambil langkah-langkah pembaharuan untuk menjawab
tantangan dan kebutuhan transformasi sosial. Misalnya timbul pembaharuan
kurikulum dan kelembagaan pesantren yang berorientasi pada kekinian sebagai
respon dari modernitas. Bagi penulis perlu dikaji ulang gagasan tersebut, sebab
bukan tidak mungkin orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif
terhadap eksistensi dan fungsi pokok pesantren. “Pesantren harus menumbuhkan
apresiasi yang sepatutnya terhadap semua perkembangan yang terjadi di masa kini
dan mendatang, sehingga dapat memproduksi ulama yang berwawasan luas.”[10]
Walaupun-walaupun pesantren
sudah banyak yang mengadakan perubahan-perubahan mendasar, namun Zamaksyari
Dhofier menilai perubahan tersebut masih sangat terbatas. Menurutnya ada dua
alasan utama yang menyebabkan, yaitu pertama, para kyai masih mempertahankan
dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu bahwa pendidikan pada dasarnya
ditujukkan untuk mempertahankan dan menyebarkan Islam. Kedua, mereka belum
memiliki staf sesuai dengan kebutuhan pembaharuan untuk mengajarkan
cabang-cabang pengetahuan umum.[11]
Hasyim Muzadi menambahkan
dalam menghadapi realitas kekinian, kita tidak harus skeptis dalam menerapkan
metodologi dan tidak usah mengacak-acak modernitas, atas nama keharusan
perubahan itu sendiri. Tradisi menjadikan agama bercokol dalam masyarakat harus
lebih kreatif dan dinamis sebab mampu bersenyawa dengan aneka ragam unsur
kebudayaan. Sedangkan modernitas tetap perlu guna terobosan-terobosan baru di
bidang pemikiran atau IPTEK tidak sampai tersandung. “Maka harus ada kesesuaian
antara penguasaan materi agama dengan kemampuan nalar, sehingga ada sinergi
antar keduanya, jangan sampai doktrin agama dimaknai secara sempit.”[12]
Aliran modernis menuntut
persinggungan yang intens dengan teknologi dan perkembangan informasi sehingga
pesantren ini mengharapkan lahirnya pribadi yang moderat, pribadi berhaluan
tengah dan open minded. Sementara aliran kitab kuning –dinisbatkan pada
aliran tradisional– menuntut santrinya untuk tetap berkutat pada matan hadis
maupun ilmu fiqih klasik serta mempertahankan keaslian dalil-dalil yang ada.
Sehingga –menurut sebagian masyarakat- karakter yang terbina dari pesantren
salaf cenderung konservatif, kolot, bersikap serta berusaha mempertahankan
keadaan, tradisi, kebiasaaan dan berkarakter ekstrim.
Banyak pesantren modern
mengesampingkan aspek ruhiyah, lembaga ini seakan lupa tujuan pertama sebuah
pembelajaran, taqarrub ilallah. Maka menjadi suatu pengalaman berharga bagi
para pengasuh pesantren modern, bila tidak ingin santri-santrinya hanya
memahami ajaran Islam kulitnya saja, untuk lebih memperhatikan masalah ini.
Menurut Muhammad Ali,
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, “Menghadapi era Teknologi
Informasi (TI) seperti sekarang ini, santri harus menguasai teknologi. Santri
tidak boleh gagap teknologi. Pasalnya, bila tertinggal dalam penguasaan
teknologi, akan ditinggal juga,” ketika ia memberikan sambutan pada peserta
Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) di Pondok Pesantren Al Hikmah 2,
Benda, Kecamatan Sirampog, Brebes, Jawa Tegah, Kamis (11/12/08) lalu. Memang,
sepintas apa yang ia katakan dapat dibenarkan. Namun internet tetaplah sebuah
pisau bermata dua. Di satu sisi, internet berbahaya kalau disalahgunakan,
misalnya menyangkut masalah pornografi. Namun di sisi lain, bila dipergunakan
dengan baik, internet juga menawarkan peluang dan memberikan manfaat yang
sangat banyak, termasuk dalam bidang dakwah.
Menjadi generasi nyleneh,
mungkin itulah bahaya terbesar yang dijauhi pesantren salaf. Dengan masuknya
internet, berarti meresap pula ke dalamnya segala jenis pemikiran, yang
ditakutkan tentunya dapat melahirkan generasi yang tidak diharapkan. Melihat
tuntutan masyarakat dan faktor utama kegagalan pesantren khalaf, akibat
mengesampingkan faktor ruhiyah, mestinya kekurangan ini menjadi modal yang
sangat berharga bagi pesantren salaf, pesantren yang tidak mau dan tidak akan
mengesampingkan faktor ruhiyah, yang emoh dengan perkembangan, untuk kembali
merajut kejayaannya. Biar bagaimanapun teknologi semakin tidak bisa dipisahkan
dari seseharian kita. Kegagalan memanfaatkan sebuah teknologi yang dialami oleh
sebagian penikmat kemajuan, sudah waktunya tidak membuat pesantren ketakutan.
Yang terpenting, bagaimana pesantren mampu untuk mempertahankan kesalafan tanpa
harus terbendung segala kemajuan.
Arus globalisasi telah
mempengaruhi segalanya dan merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi
oleh pesantren yaitu bagaimana merespon segala perubahan yang terjadi di
dunia luarnya tanpa merubah dan meninggalkan identitas pesantren itu sendiri.
Sehingga pesantren tetap eksis di tengah-tengah masyarakat modern.
C.
Makna Tindakan
Wali Santri
Wali adalah
orang tua ayah
atau ibu (Al
Barry, 1994: 782), sedangkan santri adalah murid pesantren atau calon rohaniawan Islam (Al Barry, 1994:
693). Jadi, wali santri yaitu orang tua
atau wakil orang tua dari murid pesantren atau rohaniawan Islam.
Berdasarkan uraian di atas
yang dimaksud dengan wali santri dalam buku Masa depan pesantren, Eksistensi
pesantren di tengah gelombang modernisasi ini adalah orang tua ayah atau ibu dari murid
Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan wali santri
adalah tindakan wali santri dalam memondokkan anak dengan beragam makna. Hal
tersebut sangat ditentukan oleh latar belakang social-budaya dan
social-ekonominya. Makna tindakan mereka akan tampak dari:
1.
Motif wali santri memasukkan anaknya ke pesantren salafiyah
a.
Adanya pengakuan akan kesalafiyahan pesantren
b.
Pengelolaan pesantren yang baik dan sistematis
c.
Program pendidikan yang beragam dan aplikatif
d.
Kedisiplinan pesantren
e.
Kharisma kyai
f.
Keberhasilan alumni
g.
Penghindaran pengaruh negative teman sebaya
h.
Pemertahanan tradisi keluarga
i.
Pemertahanan status social
2.
Kadar rasionalitas wali santri
Dilihat
dari kadar rasionalitasnya, tindakan memasukkan anak ke pesantren dapat
dikelompokkan dalam beberapa tipe:
a.
Tindakan tradisional
Tipe
tindakan tradisional tercermin dari alas an memondokkan anak sebagai upaya
pelestarian tradisi keluarga
b.
Tindakan afektif
Tindakan
afektif tampak dari motif tindakan mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap
pesantren dan charisma kiai, serta system pendidikan pesantren yang berciri
salafiyah.
c.
Tindakan berorientasi nilai
Tipe
ini tergambar dari motif tindakan mereka sebagai upaya yang diyakini akan dapat
memberikan kemudahan dalam berusaha dan memecahkan masalah-masalah kehidupan,
lantaran keberkahan ilmu yang diperoleh di pesantren.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian
ini
merupakan penelitian diskriptitf
kualitatif
yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-
kata dan gambar, kata-kata disusun
dalam kalimat, misalnya kalimat hasil wawancara antara peneliti dan informan. Penelitian kualitatif bertolak dari
filsafat konstruktivisme
yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi
jamak, interaktif dan suatu
pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh individu-individu. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut perspektif
partisipan.
Partisipan adalah orang-orang yang
diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan
data,
pendapat,
pemikiran, persepsinya (Sukmadinata, 2006:
94).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
berusaha
mendapatkan informasi
yang selengkap mungkin mengenai
motif
tindakan wali santri memasukkan anak di pesantren. Informasi yang digali lewat wawancara mendalam terhadap informan (Wali
santri). Teknik
kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam
penelitian ini, karena teknik ini untuk
memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya wali santri. Proses observasi dan wawancara
mendalam bersifat
sangat utama dalam
pengumpulan data. Dari observasi
diharapkan mampu menggali dampak pengambilan keputusan wali
santri dalam memasukkan anaknya ke pesantren salafiyah.
2.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Karena terkait langsung
dengan gejala-gejala yang muncul di sekitar lingkungan manusia
terorganisasir dalam satuan pendidikan formal.Penelitian yang menggunakan
pendekatan fenomenologis berusaha
untuk memahami makna peristiwa
serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu Pendekatan ini menghendaki
adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan cara yang
digunakan untuk
mendekati perilaku
orang
dengan maksud menemukan
“fakta” atau penyebab”.
Penyelidikan
fenomenologis
bermula
dari diam.
Keadaan “diam” merupakan
upaya menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subjektif dari perilaku
manusia. Fenomenologis berusaha bisa masuk
ke
dalam
dunia konseptual subjek nya agar
dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subjek
tersebut dalam kehidupan
sehari-harinya.
Singkatnya, peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang
subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan
membuat skema
konseptual. Peneliti
menekankan pada
hal-hal
subjektif,
tetapi
tidak menolak realitas “di
sana”
yang ada
pada
manusia dan
yang
mampu menahan tindakan terhadapnya. Para
peneliti kualitatif menekankan pemikiran subjektik karena menurut pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang lebih bersifat simbolis
dari pada konkret.
Jika peneliti menggunakan perspektif
fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian
ini bergerak pada kajian
mikro.
Paradigma definisi
sosial ini akan memberi peluang individu sebagai
subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan
makna yang berkaitan dengan
pokok masalah penelitian.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Pada era
yang modern ini, terdapat beberapa kubu kontradiktif yang menanggapi kemampuan
pesantren dalam mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah gelombang modernisasi dan globalisasi saat
ini. Sebagian diantaranya bersikap pesimistis dan sebagian lainnya bersifat
optimistis. Namun, terlepas dari kontra persepsi tersebut, realitas menunjukkan
bahwa pesantren salafiyah ternyata sampai hari ini tetap dapat bertahan (survive)
dengan identitasnya sendiri. Hal itu dikarenakan pesantren salafiyah telah
memperoleh kepercayaan dan dukungan masyarakat pengguna (stake holder), melalui
dukungan dan inisiatif wali santri dalam memasukkan anaknya dipesantren
salafiyah.
Secara
ringkas makna tindakan wali santri memasukkan anak mereka ke pesantren
salafiyah dapat dikategorikan menjadi:
1. Pemahaman identitas kesantrian yang
dipahami dari penggunaan symbol-simbol keagamaan, keaktifan dalam menunaikan
kewajiban-kewajiban agama, penggunaan pakaian (baju, kopiah dan sarung) dalam
kehidupan sehari-hari dan sebagainya.
2. Pelestarian tradisi tampak dalam
pola sikap dan pola tindak wali santri, khususnya dalam tindakan memasukkan
anak mereka ke pesantren salafiyah yang cenderung mengikuti tradisi keluarga.
3. Penguatan lembaga pesantren yang
muncul dalam bentuk keyakinan dan kepercayaan terhadap keberhasilan pendidikan
pesantren dalam mendidik anak-anak mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Burrell, Gibson dan Morgan, Gareth.
1994. Sociological Paradigsm And
Organisational Analysis. Ashgate Publishing Company. Brookfield
Dhofier,
Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai .Jakarta : LP3ES
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina
Mastuhu.
1989. Dinamik Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu
Kajian tentang Unsur Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta:
INIS
Mulkan,
Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta :SIPRESS
Muzadi, Hasyim. 1999. Nahdlatul
Ulama, di Tengah Agenda Persoalan Bangsa . Jakarta : Logos
Raharjo, Dawam.1985. Perkembangan
Masyarakat dalam Perspektif Pesantren. Jakarta : P3M
Sulaiman, In’am. Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren
di tengah gelombang modernisasi Malang: Madani
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijakan hidup jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wahab, Abdul. Analisis
Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara,
Jakarta: Bumi Aksara.
[1] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta : Paramadina, 1997),
hal.3
[2]
Abdul Wahab, Analisis
Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara,
Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
[3] M. Dawam Raharjo, “Perkembangan
Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo
(ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M,
1985), hal. vii.
[4]
In’am Sulaiman, Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren
di tengah gelombang modernisasi (Malang:2010) hlm. 12
[5] In’am Sulaiman, Masa depan pesantren, Eksistensi pesantren
di tengah gelombang modernisasi (Malang:2010) hlm. 20
[6]
Mastuhu, Dinamik Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu
Kajian tentang Unsur Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta:
INIS, 1989).
[7]
Burrell, Gibson dan Morgan, Gareth. 1994. Sociological Paradigsm And Organisational Analysis. Ashgate
Publishing Company. Brookfield
[8] Suseno, Franz Magnis. 1999.
Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijakan hidup jawa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
[9]
Abdul Munir Mulkan, Paradigma
Intelektual Muslim, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah
(Yogyakarta :SIPRESS, 1993), 127.
[10] Azyumardi Azra,Pendidikan
islam….Op.cit, 51
[11]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta : LP3ES 1994),
39
[12] Hasyim Muzadi, Nahdlatul
Ulama, di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta : Logos, 1999), 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar