Minggu, 31 Oktober 2010


Peningkatan Keterampilan Berbicara Anak Tunagrahita Ringan Melalui Metode Tanya Jawab Kontekstual Di SLB  ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi.

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang


Pendidikan diindonesia saat ini masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, sehingga ceramah akan pada menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Menurut Ibrahim, muslimin dalam seminarnya Mengembangkan multiple intelegence siswa dalam pembelajaran bahwa keefektifan belajar ceramah hanya efektif 15 menit. Maka dari itu metode ceramah jika lebih dari 15 menit akan membuat siswa bosan, pasif dan tidak kondusif. Dengan adanya permasalahan seperti ini, maka tujuan pendidikan diindonesia tidaklah terwujud. Untuk itu permasalahan seperti ini perlu untuk diselesaikan.
Berdasarkan pengamatan di SLB PGRI ABCD 2 Jajak Banyuwangi terdapat banyak kelas-kelas yang masih menggunakan strategi belajar dengan menggunakan metode ceramah. Situasi kelas seperti ini dikarenakan guru sebagai pengendali kelas kurang menguasai dan tahu akan kelebihan dan kekurangan dari beberapa metode pembelajaran dengan baik, sehingga guru kurang mampu memilih dan menerapkan metode pembelajaran yang efektif untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan akan berdampak negative terhadap anak berkebutuhan khusus yang ada di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi, terutama anak tunagrahita karena anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata normal, sehingga mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Akibat dari kerusakan system syaraf dan otot syaraf, mengakibatkan adanya keterhambatan dalam berfikir anak tunagrahita, sehingga bisa berkibat pula pada bahasa anak dengan kurang bisanya anak dalam berbicara, baik vokalnya, gaya bahasanya dan intonasinya sehingga mereka memerlukan metode khusus agar dapat melatih keterampilan berbicara mereka. Metode yang kemungkinan dapat melatih keterampilan berbicara anak tunagrahita dalam situasi pembelajaran adalah metode tanya jawab kontekstual.
Metode tanya jawab kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. (US Departement of Education, 2001). Dengan metode Tanya jawab kontekstual ini, siswa diarahkan untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang disertai dengan Tanya jawab antara guru dengan siswa yang berkaiitan dengan lingkungan sekitar.
Dengan demikian anak tunagrahita dengan diberikan pembelajaran dengan menggunakan metode Tanya jawab kontekstual dapat melatih keterampilan berbicara anak tunagrahhita di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi. Selain itu dengan anak dapat berbicara maka proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal dan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
2.      Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalah yaitu sebagai berikut :
“Apakah metode tanya jawab kontekstual dapat meningkatkan keterampilam berbicara anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi?“


3.      Tujuan
Setiap rencana dari suatu aktivitas tentu memiliki tujuan khas masing-masing, sesuai yang ingin dicapainya sehingga pelaksanaannya bisa terarah, terpola, dan sistematik. Demikian pula dengan penelitian ini memiliki tujuan, sebagai berikut :
“ Untuk mengetahui apakah metode tanya jawab kontekstual dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi?”
4.      Pentingnya Masalah Untuk Diteliti
Menyimak uraian pada tujuan penelitian tersebut di atas, dan dengan tercapainya tujuan tersebut maka penelitian ini penting untuk diteliti, dan dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Bagi guru;
Dengan adanya metode tanya jawab kontekstual ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi guru untuk membantu siswa yang mengalami gangguan dalam berbicara.
2.      Bagi siswa;
Dengan adanya metode tanya jawab kontekstual akan memberikan  kesadaran bahwa dengan belajar berbicara dapat menumbuhkan dan mengembangkan rasa percaya diri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, kemudian dapat sebagai instrumen untuk membentuk pribadi yang positif. Di samping itu kompetensi kreativitas, sikap, dan minat siswa adalah salah satu unsur dari kecakapan hidup (life skill) yang harus digali melalui pembelajaran.

3.      Bagi dunia pendidikan;
Dengan adanya metode tanya jawab kontekstual ini dunia pendidikan dapat merubah dari pengajaran menjadi pembelajaran, yang berarti bahwa siswa belajar tidak cukup dengan memperhatikan, menulis, membaca, dan berlatih tetapi pembelajaran adalah membelajarkan siswa (sebagai subjek) dengan cara melakukan-mengalami-mengkomunikasikan. Mulai dari kehidupan nyata siswa diangkat menjadi konsep.
5.      Definisi Operasional, Asumsi, dan Keterbatasan
a.      Definisi Operasional
1.      Metode Tanya jawab Kontekstual
Metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh guru agar materi pelajaran dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Tanya jawab merupakan cara yang diberikan guru untuk  memberi kesempatan kepada siswa agar merefleksikan keingintahuan dan kebutuhannya akan informasi yang lebih lengkap serta dapat menunjukan kebenaran dalam pikirannya sendiri untuk kemudian diekspresikan lewat kata-katanya sendiri.
Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning, CTL), yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.
2.      Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial. Sedangkan menurut Wilkin dalam Oktarina (2002) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat yang berbeda.
b.      Asumsi
Asumsi (Anggapan dasar) adalah pernyataan yang diyakini kebenarannya oleh peneliti tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu, sebagai titik tolak untuk melakukan rencana dan aktivitas. Kenapa demikian ? Karena secara common sense mudah untuk menerima kebenaran tersebut. Begitu pula dalam rencana kegiatan penelitian ini, penulis akan bertitik tolak dari anggapan dasar berikut ini:
a.       Peneliti memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode tanya jawab kontekstual, dan metode pembelajaran ini tepat digunakan untuk siswa di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi.
b.      Pembelajaran dengan menggunakan metode tanya jawab kontekstual yang akan dilakukan penulis, dapat diterapkan secara memadai sesuai dengan persyaratan teoritis yang diperlukan.
c.       Banyak benda-benda disekitar (local materials) kehidupan siswa untuk diangkat menjadi tema dalam suatu pembelajaran yang menggunakan metode tanya jawab kontekstual.
c.       Keterbatasan

Untuk menghindari kesalah fahaman dan agar tercapainya pengertian yang sama, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut :
a.       Penelitian ini hanya terbatas pada penggunaan metode Tanya jawab kontekstual untuk meningkatkan keterampilan bicara.
b.      Penelitian ini terbatas pada siswa di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi.
c.       Penelitian ini terbatas pada waktu, tenaga dan dana peneliti.
B.     Kajian Pustaka
Berbicara merupakan suatu aktifitas kehidupan menusia normal yang sangat penting, karena dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesame manusia, mengunggkapkan pendapat, menyampaikan maksud dan pesan, menggungkapkan perasaan dan lain sebagainya. Pendekatan kontekstual menurut Nurhana (2002 : 05) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dan dorongan siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan berbicara kontekstual merupakan suatu aktifitas yang dilakukan oleh siswa baik normal maupun anak berkebutuhan khusus yang dilakukan secara aktif dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
1.      Kemampuan Keterampilan Berbicara Kontekstual
a.      Keterampilan Berbicara
1)      Kemampuan Keterampilan Berbicara
Kemampuan berbicara sebenarnya berkaitan dengan kemampuan berbahasa, karena berbicara merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari berbahasa. Komponen bahasa itu sendiri meliputi : menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Dari komponen-komponen tersebut, dapat diambil salah satu komponen dalam berbahasa yaitu berbicara. Menurut Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku social.
 Di sekolahan keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua siswa yang didalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah  maupun yang timbal balik ataupun keduanya. Seseorang siswa yang memiliki ketermapilan berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan didalam pergaulan, baik di sekolahan, di rumah, maupun di tempat lain. Dengan keterampilannya segala pesan yang disampaikannya akan mudah dicerna, sehingga komunikasi dapat berjalan lancar dengan siapa saja. Selain anak normal, keterampilan berbicara juga diperlukan oleh anak berkebutuhan khusus terutama anak tunagrahita karena dengan adanya keterampilan berbicara, maka interaksi sosial anak tunagrahita dapat berjalan secara optimal.
2)      Factor – Factor Yang Mempengaruhi Anak Berbicara
Intelegensi.. semakin cerdas anak, semakin cepat keterampilan berbicara dikuasai sehingga semakin cepat dapat berbicara.

Jenis Disiplin.. anak yang dibesarkan dengan disiplin yang cenderung lemah lebih banyak berbicara daripada anak-anak yang orangtuanya bersikap keras dan berpandangan bahwa "anak-anak harus dilihat tetapi tidak didengar".

Posisi Urutan.. anak sulung didorong untuk lebih banyak bicara daripada adiknya dan orangtua lebih mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan adiknya.

Besarnya Keluarga.. anak tunggal didorong untuk lebih banyak bicara daripada anak-anak dari keluarga besar dan orangtuanya mempunyai lebih banyak waktu untuk berbicara dengannya. dalam keluarga besar, disiplin yang ditegakkan lebih otoriter dan ini menghambat anak-anak untuk berbicara sesukanya.

Status Sosial Ekonomi.. dalam keluarga kelas rendah, kegiatan keluarga cenderung kurang terorganisasi daripada keluarga kelas menengah dan atas. pembicaraan antar-anggota keluarga juga jarang dan anak kurang didiorong untuk berbicara.

Status Ras.. mutu dan keterampilan berbicara yang kurang baik pada kebanyakan anak berkulit hitam dapat disebabkan sebagian karena mereka dibesarkan dalam rumah-rumah dimana para ayah tidak ada, atau dimana kehidupan keluarga tidak teratur karena banyaknya anak atau karena ibu harus bekerja diluar rumah.

Berbahasa Dua.. meskipun anak dari keluarga yang berbahasa dua boleh bicara sebanyak anak dari keluarga berbahasa satu, tetapi pembicaraannya sangat terbatas kalau ia berada dengan kelompok sebayanya atau dengan orang dewasa diluar rumah.

Penggolongan Peran-Seks.. terdapat efek penggolongan peran-seks pada pembicaraan anak sekalipun anak masih berada dalam tahun-tahun prasekolah. anak laki-laki diharapkan sedikit berbicara dibandingkan dengan anak perempuan. apa yang dikatakan dan bagaimana cara mengatakannya diharapkan berbeda dari anak perempuan. membual dan mengkritik orang lain, misalnya, dianggap lebih sesuai untuk anak laki-laki. sedangkan anak perempuan wajar bila mengadukan orang lain. (http://www.world of psychology.com) diakses March 22, 2008
3)      Penyebab Keterlambatan Berbicara Atau Berbahasa
Ada banyak alasan  terjadinya keterlambatan perkembangan berbicara dan berbahasa. Keterlambatan berbicara yang terjadi pada seorang anak yang perkembangannya dalam bidang lain normal jarang disebabkan oleh kelainan fisik, seperti kelainan lidah atau langit-langit mulut.
Tetapi, gangguan pendengaran umumnya berkaitan dengan keterlambatan berbicara. Jika seorang anak mengalami gangguan pendengaran, maka ia akan mengalami kesulitan dalam memahami, menirukan, dan menggunakan bahasa. Infeksi telinga, khususnya infeksi kronik, dapat mempengaruhi kemampuan mendengar. Ini merupakan alasan mengapa perawatan dini harus segera diberikan kepada seorang anak atau bayi yang mengalami infeksi telinga. Infeksi telinga dapat disembuhkan dengan baik jika pertolongan segera diberikan dan tidak akan menyebabkan terjadinya gangguan berbicara.
Sejumlah anak yang mengalami keterlambatan berbicara mungkin mengalami masalah motorik oral, artinya ada gangguan dalam pengolahan atau penyampaian sinyal dari pusat bicara di otak. Seorang anak seperti ini akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan bibir, lidah, dan rahangnya untuk mengucapkan suatu kata. Gangguan bicaranya tersebut dapat disertai dengan gangguan motorik oral lainnya seperti gangguan saat makan. Gangguan berbicara sering kali menunjukkan adanya gangguan perkembangan lain yang lebih luas. (cfs/kidshealth.org) diakses 20 februari 2006
b.      Pendekatan Kontekstual
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Dengan prinsip penmbelajaran seperti itu, pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri, mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya. Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pembelajaran dengan cara seperti di atas disebut pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning, CTL), yaitu dengan cara guru memulai pembelajaran yang dimulai atau dikaitkan dengan dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berfikir, constructivism agar siswa membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereviu kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang diberikan menjadi sangat objektif.
Selain itu dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
Untuk itu pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri, agar dapat terjadi lima bentuk belajar diatas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi-kemampuan-pangabisa, tidak sekedar mengetahui dan memahami. Jika model CTL diterapkan dikelas akan terlihat kondisi emosional individu dengan mempengaruhi pemikiran dan prilakunya, oleh karena itu CTL akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. (Blog at WordPress.com.) Diakses 29 April 2008
2.      Hubungan Metode Tanya Jawab Dengan Keterampilan Berbicara Anak
Tunagrahita

Untuk mengetahui hubungan antara metode Tanya jawab dengan keterampilan berbicara anak tunagrahita, perlu diuraikan penjelasannya sebagai berikut.
Keterampilan berbicara pada umumnya diperlukan untuk berkomunikasi. Komunikasi disini berarti suatu pertukaran pikiran dan perasaan. Pertukaran tersebut dapat dilaksanakan dengan setiap bentuk bahasa, seperti : isyarat, ungkapan, emosional, berbicara atau bahasa tulisan, tetapi komunikasi yang paling umum dan paling efektif dilakukan dengan berbicara. Jika berbicara dimaksudkan untuk memenuhi fungsi pertukaran pikiran dan perasaan, maka terdapat dua unsure penting, yaitu (1) anak harus menggunakan bentuk bahasa lisan yang bermakna bagi orang yang  mereka ajak berbicara, dan (2) dalam berbicara anak harus memahami bahasa lisan yang digunakan orang lain. Anak tunagrahita yang mengalami retardasi mental sehingga berakibat keterampilan berbicaranya terhambat dan menimbulkan cacat dalam berbicara. Cacat dalam berbicara pada anak tunagrahita misalnya (1) cacat dalam arti kata, yaitu pengaitan arti yang salah dari suatu kata. Kesalahan itu mempengaruhi pemahaman anak tentang apa yang dikatakan orang lain seperti halnya kemampuan orang lain memahami apa yang dikatakananak, (2) cacat dalam pengucapan, cacat ini bias menjadi hambatan bagi penyesuaian social dan pribadi anak, dan (3) cacat dalam struktur kalimat, bias menimbulkan salah pengertian, menimbulkan kesan kurang menyenangkan, menimbulkan kerugian psikologi bagi anak.
Metode Tanya jawab adalah suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh guru agar siswa lebih aktif dalam mengetahui  materi pembelajaran dengan cara guru memberikan pertanyaan dan siswa menjawab pertanyaan tersebut.
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dari uraian diatas, maka untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak tunagrahita dalam upaya untuk mengefektifkan fungsi pertukaran pikiran dan perasaan, digunakan metode Tanya jawab kontekstual. Karena anak tunagrahita yang mengalami cacat dalam bicara atau keterampilan berbicaranya tidak berkembang dengan metode Tanya jawab kontekstual ini diharapkan mampu mengucapkan keseluruhan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kalimat Tanya jawab, sehingga lebih mudah mengingat makna dari kalimat yang dimaksud.
Selain itu metode Tanya jawab kontekstual dinilai tepat untuk mengembangkan keterampilan berbicara anak tunagrahita karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain :(1) lebih praktis dan efisien waktu, (2) anak tidak cenderung menghafal cerita, (3) dapat melatih anak untuk berfikir kritis dan, (4) lebih menarik perhatian anak.
3.      Karakteristik Belajar Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita merupakan anak yang mempunyai kecerdasan dibawah rata-rata. Disamping itu mereka juga mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Menurut Effendi (1992 : 82) mendefinisikan tunagrahita atau keterbelakangan mental adalah “jika tingkat kecerdasannya sedemikian rendahnya, sehingga untuk memikili tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secaara spesifik, termasuk pendidikannya”.
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila fungsi intellectualnya secara jelas dibawah rata-rata normal dan kurang mampu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Menrut katakteristiknya, pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan atas taraf  intellegensinya, yang terdiri dari tunagrahita ringan, sedang dan berat. Pengelompokan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a.      Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut binet, sedangkan menurut skala weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. dengan bimbingan dan pendidikan yang baik anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.
Anak tunagrahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja dipabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
Namun demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya dengan tolol ,tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan
Pada umumnya anak tunu grahita pada umumnya tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tuna grahita ringan dengan anak normal.
b.      Tunagrahita Sedang
Anak tuna grahita sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala binet sedangkan menurut skala wsechler(WISC) memiliki IQ 54-40. Anak tuna grahita sedang bisa mencapai perkembangan MAsampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dapat dididik mengurus diri,melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran,berjalan dijalan raya,berlindung dari hujan,dan sebagainya
Anak tuna grahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajarsecara seperti belajar menulis,membaca dan berhitung,walaupun mereka masih dapat menulis secara social misalnya menulis namanya sendiri,alamatnya dan lain-lain,dapat dididik mengurus diri seperti mandi,berpakaian,makan,minum,mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan seperti menyapu,membersihkan perabot rumah tangga,dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
c.       Tunagrahita Berat
Kelompok anak tuna grahita ringan disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menuru skala binet dan antara 39-25 menurut skala wsechler (WISC). Tunagrahita sangat berat (provound) memiliki IQ dibawah 19 menurut skala binet dan IQ dibawah 24 menurut skala wsechler (WISC). Kemampuan mental maksimal dapat dicapai kurang dari 3 tahun.
Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian,mandi,makan dll. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
Karakteristik belajar dalam pembicaraan ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam belajar anak tunagrahita yang harus disesuaikan dengan keadaannya. Berhubung keadaan anak tunagrahita sedemikian rupa, maka tentu saja dalam pembelajarannya harus memperhatikan ciri-ciri yang berkaitan dengan situasi belajarnya. Berikut ini akan dikemukakan karakteristik belajar anak tunagrahita, antara lain :
a.       Miskin pembendaharaan kata
Anak ini tidak mampu untuk mengungkap kata – kata yang didengar. Oleh karena itu penting bagi mereka ini diberi kata-kata yang sering didengarnya, dan kalimat-kalimat itu sederhana. Berbicara mereka harus menjadi perhatian utama.
b.      Kurang kreatif
Salah satu dasar timbulnya kreatif adalah adanya fungsi intellektual yang baik. Berhubung anak tunagrahita terbatas dalam hal intellektualnya maka dengan sendirinya kreatifitasnya akan ternatas pula. Mereka sukar untuk menciptakan sesuatu. Mereka tidak dapat menyelesaikan tugas sepenuhnya, apabila tugas itu banyak. Oleh karena itu dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu dijelaskan secara terperinci apa yang harus dia perbuat. Kemudian perlu pula kejelasan tahapan tugas-tugasnya.
c.       Mentah pertimbangan.
Anak ini tidak dapat melihat hubungan sebab dan akiba antara berbagai peristiwa. Mereka mudah dipengaruhi untuk melakukan sesuatu. Untu itu mereka perlu dikomunikasikan kepada orang tua, keluarga maupun masyarakat mengenai kondisi anak ini.
d.      Kurang mampu memusatkan perhatian.
 dikemukakan bahwa anak –anak ini umumnya kurang atau tidak dapat memusatkan perhatian. Mereka tidak tahan lam untuk memperhatikan sesuatu. Mereka mudah beralih perhatian. Karena itu perlu diperhatikan bahwa jika memberikan tugas janganlah terlalu banyak. Bila tugasnya banyak, berikan secara berurutan dan sedikit demi sedikit. Segeralah alihkan perhatiannya sebelum timbul rasa bosan. Gunakanlah variasi dalam mengajar mereka terutama dalam pendekatan maupun metode belajar. Berikanlah tanda – tanda jelas untuk memusatkan perhatian, misalnya dengan membri warna pada topik atau hal yang menjadi pokok pelajaran.
e.       Cepat lupa.
Anak ini mengalami cepat lupa. Hal ini sebabkan oleh ketidakteraturan dalam menata informasi sehingga pada waktu informasi itu dibutuhkan tidak ada. Akhirnya ia bingung dan ia kelihatannya seperti pelupa. Untuk menghadapinya, sebaiknya selalu memberikan penjelasan secara berulang-ulang dan dengan cara yang berbeda-beda. Sebelum maju ke hal yang berikutnya, adakan dahulu pengulangan sampai kita yakin betul bahwa mereka telah mampu. Selain itu perlu juga diadakan penataan informasi yang baik sehingga mereka mudah untuk mengingat.
f.       Memerlukan tempo belajar yang lama
Bila mereka ini sudah melakukan sesuatu perlu diminta agar mereka dapat mengulanginya. Janganlah cepat-cepat percaya bahwa mereka ini telah mampu melakukan sesuatu. Mereka harus diminta untuk mengerjakan sendiri dan selalu diberi kesempatan untuk membuktikan kecakapannya. Berhubung mereka sering membutuhkan pengulangan-pengulangan atau dengan menggunakan alat/cara yang bervariasi maka tentu saja membutuhkan waktu yang lama. Pengulangan-pengulangan ini harus terencana dan terprogram.
g.      Miskin pengalaman
Anak ini sering diperhatikan dengan diabaikan atau dimanjakan. Sebagai akibat dari sikap – sikap tersebut mereka kurang atau tidak diajak untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Dalam menghadapi hal ini mereka perlu dengar cerita, melihat –lihat gambar, atau ikut kegiatan darmawisata. Ajaklah mereka menghubungkan pengalam yang saat ini dengan pengalaman masa lampau.
Dari karakteristik –karakteristik belajar anak tunagrahita diatas, maka dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran dalam menerapkan metode tanya jawab kontekstual dalam lingkungan belajar. Lingkungan belajar adalah suatu lingkungan yang diciptakan untuk mewujudkan suasana kegiatan belajar mengajar yang efektif dan menyenangkan serta dapat memotivasi anak tunagrahita untuk belajar sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya.
4.      Hipotesis
Hipotesis merupakan asumsi atau anggapan dasar mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk mengeceknya (Sudjana, 1996). Hipotesis dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a.       Hipotesis Kerja (Ha)
         Hipotesis kerja (Ha) yaitu hipotesis yang menyatakakn ada hubungan antara variabel X dan Y, hipotesis ini juga disebut dengan hipotesis alternative.
b.      Hipotesis Nihil (Ho)
         Hipotesis Nihil (Ho) yaitu hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel X dan Y, hipotesis ini disebut juga dengan hipotesis statistic.

Mengacu pada definisi tersebut dan sesuai dengan judul penelitian, maka penulis menggunakan Hipotesis  Nihil (Ho) yang berbunyi “Keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi dapat meningkat dengan menggunakan metode Tanya jawab kontekstual”.
C.    Metodologi Penelitian

Didalam kegiatan penelitian, seorang peneliti tentu menggunakan suatu metode yang tepat agar memperoleh hasil yang objektif terhadap sasaran. Penggunaan metode penelitian yang tepat akan mengarahkan penelitian yang dilaksanakan kearah yang teratur dan cermat, mulai dari perencanaan sampai ke pengambilan keputusan.
Metode penelitian adalah kegiatan mengkaji suatu masalah secara teliti dan teratur, dengan cara menyusun gagasan yang terarah dan terkonsep untuk memecahkan permasalahan yang hidup dan berguna bagi masyarakat atau peneliti itu sendiri.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasi eksperimen sesuai dengan permasalahan dan pencarian jalan pemecahan masalah tersebut. Penelitian tentang penggunaan metode Tanya jawab kontekstual untuk meningkatkan keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi termasuk jenis penelitian pra eksperimen dengan menggunakan one group pre test – post test design.

1.      Desain Penelitian

Penelitian tentang penggunaan metode Tanya jawab kontekstual untuk meningkatkan keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan ini menggunakan desain penelitian pre test dan post tes pada satu kelompok tunagrahita ringan saja tanpa ada pembanding. Desain penelitian dengan “pre test – post test one group design” ini menggunakan pola O1 x O2 dimana trestment yang dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah eksperimen, treatment sebelum eksperimen O1 disebut pre test dan treatment setelah eksperimen O2 disebut post test (Arikunto,S 1997 : 84). Rumus dapat digambarkan sebagai berikut :

O1                       X                      O2

Keterangan :
O1       = Pre Test
X         = Metode Tanya Jawab Kontekstual
O2       = Post Test

2.      Populasi Dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagain atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto,S 1997 : 108). Pada umumnya sampel itu merupakan sebagian dari populasi yang dianggap mewakilinya. Akan tetapi dalam keadaan – keadaan tertentu, seluruh populasi langsung dijadikan sumber data. Dalam keadaan semacam itu, sampel itu disebut sampel total (total sample atau sensus).
Sampel total digunakan apabila kesatuan – kesatuan atau ruang lingkup yang menjadi populasi tidak terlampau banyak atau tidak terlampau luas. Berdasarkan pengertian populasi dan sampel diatas, maka dalam proposal skripsi ini, penulis menetapkan bahwa yang menjadi populasi penelitian adalah keseluruhan objek yang diteliti yang mengandung data dan memiliki karakteristik tertentu. Sedangkan yang dimaksud sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi yang dapat mewakili sebagai contoh, dalam memberikan informasi tentang data yang diperlukan.

3.      Variable Penelitian

Istilah “variable” merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap jenis penelitian, F.N Kerlinger menyebut variable sebagai suatu konsep. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi mendefinisikan veriabel sebagai gejala yang bervariasi.

Dalam penelitian ini digunakan veriabel yaitu :
1.      Variable Bebas
Yaitu variable yang memberikan pengaruh kepada variable lainnya. Variable bebas disebut juga variable perlakuan, karena variable ini secara sengaja dikenakan pada subjek atau objek coba itu. Pada variable bebas dalam penelitian ini adalah instrument metode Tanya jawab kontekstual.
2.      Veriabel Terikat  
Yaitu variable yang dipengaruhi oleh variable bebas. Variable terikat disebut juga variable respon, yaitu sebagai veriabel akibat yang muncul dan atau berubah karena perlakukan yang dikenakan pada subjek atau objek coba. Variable terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan berbicara siswa tunagrhita ringan.

4.      Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data mencakup usaha-usaha untuk memperoleh data tentang siswa. Secara garis besar dalam pengumpulan data ini ada tiga yaitu : mengadakan pre test, memberikan perlakuan dan mengadakan post test.
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1.      Tes.
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. (Arikunto, 1997 : 127).
Untuk mengetahui perbedaan keterampilan berbicara antara sebe,um dan sesudah dilakukan metode Tanya jawab kontekstual digunakan tes kemampuan bahasa, yang meliputi bahasa pasif dan bahasa aktif. (terlampir)
2.      Observasi.
Observasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra.
Dalam penelitian ini menggunakan tehnik observasi atau pengamatan data sangat diperlukan agar dapat memudahkan dalam pengumpulan data tentang keterampilan berbicara anak tunagrahita ringanperlu digunakan instrument observasi berupa skala penilaian.
Skala ini berupa daftar yang berisikan ciri-ciri tingkah laku, yang dicatat secara bertingkat. Skala penilaian tentang tentang keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan berisi aspek – aspek yang dinilai antara lain :
a.       Menyebutkan nama benda yang ada dilingkungan sekitar.
b.      Menyebutkan identitas pribadi, seperti nama, umur dan alamat.
c.       Mendeskripsikan benda dengan kalimat sederhana.
d.      Menjawab secara sederhana tentang pertanyaan yang diajukan secara lisan.
e.       Menceritakan kegiatan yang sedang berlangsung dengan kalimat sederhana.
f.       Bercakap-cakap dalam kelompok kecil tentang satu topic dengan kalimat sederhana.
g.      Menceritakan peristiwa yang dilihat dilingkungan sekitar dengan kalimat sederhana.
h.      Kemampuan kenyaringan suara.
i.        Gaya bahasa.
j.        Intonasinya.
Pengamatan tentang keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan ini dilakukan sebelum dan sesudah metode Tanya jawab kontekstual ini diterapkan. (terlampir)
3.      Dokumentasi
Dalam penelitian ini metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data pribadi ( populasi dan sampel ) berupa umur, tingkat ketunagrahitaan, tingkat kecerdasan rata-rata dan jumlah subjek penelitian.

5.      Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap ini dilakukan bertujuan agar dalam pelaksanaan penelitian benar-benar cermat, teliti dan berurutan, sehingga dapat mencapai tujuan yang optimal. Tahap – tahap ini meliputi :

1.      Mengadakan observasi
Dalam observasi ini, peneliti mengadakan pengamatan tentang keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi yang meliputi :
a.       Menyebutkan nama benda yang ada dilingkungan sekitar.
b.      Menyebutkan identitas pribadi, seperti nama, umur dan alamat.
c.       Mendeskripsikan benda dengan kalimat sederhana.
d.      Menjawab secara sederhana tentang pertanyaan yang diajukan secara lisan.
e.       Menceritakan kegiatan yang sedang berlangsung dengan kalimat sederhana.
f.       Bercakap-cakap dalam kelompok kecil tentang satu topic dengan kalimat sederhana.
g.      Menceritakan peristiwa yang dilihat dilingkungan sekitar dengan kalimat sederhana.
h.      Kemampuan kenyaringan suara.
i.        Gaya bahasa.
j.        Intonasinya.
Pengamatan ini dilakukan secara terus-menerus, selama penelitian berlangsung agar dapat melihat hasil sebelum dan sesudahnya diterapkan metode Tanya jawab kontekstual dalam penelitian.
2.      Mengadakan pre test.
Pemberian pre test pada anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan sebelum metode Tanya jawab kontekstual diterapkan.(terlampir)
3.      Memberi perlakuan.
Pemberian perlakuan pada anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi ini berupa kegiatan belajar mengajar tentang keterampilan berbicara dengan metode Tanya jawab kontekstual yang dikemas dalam semua mata pelajaran. Materi perlakuan atau pokok bahasan yang diambil adalah keterampilan berbicara yang meliputi berbagai tema dalam pembelajaran yaitu : (1) diri sendiri , (2) lingkungan, (3) kegemaran, (4) kesehatan dan (5) keluarga. 
Instrument kegiatan belajar mengajar keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan di SDLB PGRI Gambiran Banyuwangi ini melalui metode Tanya jawab kontekstual terlampir.
4.       Mengadakan post test
Pemberian post test pada anak tunagrahita ringan di SLB ABCD PGRI 2 Jajak Banyuwangi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan keterampilan berbicara anak tunagrahita ringan sesudah metode Tanya jawab kontekstual diterapkan. (terlampir)
6.      Metode Analisis Data
Rumus analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistic uji-t (t-test) yaitu pre test dan post test one group design :

                t =
Dengan keterangan:
Md      = Mean dari perbedaan pre tes dengan post test(post test-pre test)
xd        = Deviasi masing-masing subjek (d-Md)
∑x2d     = Jumlah kuadrat devisisi
N         = Subjek Pada Sampel
d.b.      = Ditentukan dengan N-1
( Arikunto, Suharsimi 1997 : 276)